Allaahumma Sholli 'ala Muhammad wa 'ala Aali Muhammad >>> Untuk mendapatkan informasi beasiswa terbaru, silakan ikuti media sosial kami berikut ini: Telegram, Tiktok, Instagram, WhatsApp, Twitter, Youtube dan Facebook!
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002
Tentang
OBLIGASI SYARI’AH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dewan Syari’ah Nasional, setelah:
Menimbang :
a. bahwa salah satu bentuk instrumen investasi pada pasar modal (konvensional) adalah obligasi yang selama ini didefinisikan sebagai suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat utang yang dikeluarkan oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi;
b. bahwa obligasi sebagaimana pengertian butir a. tersebut di atas, yang telah diterbitkan selama ini, masih belum sesuai dengan ketentuan syariah sehingga belum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan obligasi yang sesuai dengan syariah;
c. bahwa agar obligasi dapat diterbitkan sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
1. Firman Allah SWT, QS. Al-Ma’idah [5]:1:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ...
“Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu...”.
2. Firman Allah SWT, QS. al-Isra’ [17]: 34:
...وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِۖ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔوْلً
“...dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
3. Firman Allah SWT., QS. Al-Baqarah [2]: 275:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
4. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
5. Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daruquthni, dan yang lain, dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما)
“Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.”
6. Kaidah Fiqih:
اَلْأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ اَلْإِبَاحَةُ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرِ
“Kesulitan dapat menarik kemudahan.”
الحَاجَةُ قَدْ تُنَزَّلْ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
“Keperluan dapat menduduki posisi darurat.”
الثَابِتْ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتْ بالشَّرْعِ
“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syari’at).”
Memperhatikan :
1. Pendapat para ulama tentang keharaman bunga;
2. Pendapat para ulama tentang keharaman obligasi konvensional yang berbasis bunga;
3. Pendapat para ulama tentang obligasi syariah yang meliputi obligasi yang menggunakan prinsip mudharabah, murabahah, musyarakah, istishna’, ijarah dan salam;
4. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
5. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Istishna’, Jual Beli Salam, dan Ijarah;
6. Surat dari PT. AAA Sekuritas No. Ref:08/IB/VII/02 tanggal 5 Juli 2002 tentang Permohonan Fatwa Obligasi Syariah;
7. Pendapat para peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional MUI tanggal 14 September 2002 tentang obligasi syariah.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH
Pertama Ketentuan Umum
1. Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
2. Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;
3. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Kedua : Ketentuan Khusus
1. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
a. Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
b. Musyarakah
c. Murabahah
d. Salam
e. Istishna
f. Ijarah;
2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
4. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
5. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 06 Rajab 1423 H. / 14 September 2002 M.
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh
Sekretaris,
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
0 Comments